Jumat, 08 Februari 2013

Bersentuhan dengan isteri membatalkan wudhu’ (1)


Wahabi memfatwakan bahwa, “jika kita bersentuhan dengan istri tidak membatalkan wudhu’ hinga pernah satu kejadian begini, ada orang yang berfaham muhammadiyah (kaum muda) berkata kepada seseorang yang menyakini jika bersentuhan dengan istri itu memmbatalkan wudhu’ (Faham kaum tua)

Kaum muda : Jika bapak bersentuhan dengan istri bapak apakah wudhu’ bapak batal?
Faham tua           : ya, katanya.
Kaum muda        : kalau dengan monyet ?

Faham tua           : tidak
Kaum muda        : berarti lebih hebat monyet ketimbang istri bapak?
Faham tua           : oo. Ya. Betul itu (sambil ditamparnya yang bertanya tadi hingga jatuh terlentang) setelah itu, kaum muda yang tak beradab dan berakal ini tidak pernah lagi bertanya seperti itu.

Nah mereka selalu membuat pertanyaan yang memancing-mancing emosi orang lain. Seolah-olah pemikiran yang seperti itu tak ada tandingannya. Kalau para pembaca mendapatkan pertanyaan yang seperti diatas ini, buatlah bandingannya begini :

Mas, jika saya bersentuhan dengan ibumu, apakah wudhu’ saya batal? Kalau dia jawab batal, maka tanyakan, bagaimana jika saya bersentuhan dengan monyet apakah wudhu’ saya batal?? Jika dia jawab tidak, katakan “Berarti lebih mulia monyet ketimbang ibumu”

Bandingan Kedua:
Mas, jika saya membelai wajah istrimu apakah berdosa?? Kalau dia jawab Ya. Tanyakan lagi, kalau yang saya belai itu wajah burung hantu , apakah berdosa??, kalau dijawab tidak, katakan “ berarti lebih hebat burung hantu ketimbang istrimu”.

Begitu pendeknya mereka memahami agama ini. Islam itu bukan untuk diakal-akali, tetapi islam itu diambil dari dasar yang murni. Maka hati-hatilah jika kita berbicara.

Dasar kita mengatakan batalnya wudhu’ jika bersentuhan dengan istri kita yaitu, surat An-Nisa’ ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.


Dalam ayat ini dapat kita petik beberapa hukum :
1. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk
2. hilang akal
3. bila sudah tahu apa yang kita kerjakan maka bolehlah kita melaksanakan shalat
4. jangan pula hampiri masjid, kalau sedang junub yaitu (Wanita Haid, inzal, setelah bersetubuh) terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Seperti melewati masjid dikarenakan rumahnya dibelakang masjid atau dengan alas an lainnya.
5. wanita haid dilarang shalat baik di masjid maupun diluar masjid
6. begitu juga orang inzal tak boleh shalat (Keluar manis dengan sengaja
7. dan orang yang setelah bersetubuh tak diperbolehkan shalat, baik di masjid ataupun diluar masjid.
8. orang yang sakit atau dalam perjalanan yang tidak mendapatkan air boleh bertayamum
9. begitu juga sehabis buang air besar, atau kecil atau menyentuh wanita batal wudhu’nya dan boleh bertayamum kalau tidak ada air.

Semua itu adalah :
Hilang akal, bersetubuh, buang air besar, kecil, haid dll bagi wanita dan menyentuh wanita membatalkan wudhu’.

Ini dalil yang paling kuat menyatakan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu’ , kecuali mahram kita seperti Ibu kita, mertua kita, adik perempuan kita dan lainnya yang telah menjadi mahram kita. Maka tidaklah batal wudhu’ jika bersentuhan dengan mereka semua.

Sayangnya wahabi memahami ayat “lamas tumun nisak” diatas, bukan bersentuhan tetapi persetubuhan.

Disini kami melihat, kalaulah diartikan menyentuh itu dengan maksud bersetubuh , maka akan timbul dua kerancuan nantinya.

1. berarti ayat ini khusus untuk istri saja. Karena mana mungkin kita bersetubuh dengan orang lain. Kalau ada yang bilang “MUNGKIN SAJA” berarti dialah tukangnya.

2. maka hukum yang kedua adalah : tidak batallah wudhu’ bila menyentuh wanita lain. Sebab tidak ada ayat menyatakan batalnya. Apakah begitu memahamkannya?? Perhatikan kalimat ayat ini.
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya : Atau kamu sentuh wanita
Arti kalimat “Lamasa” menurut bahasa Arab itu sentuh, “bukan setubuh ataupun cium-ciuman” dll.
Dalam Quran sendiri arti “Lamasa” itu sentuh. Mari kita perhatikan surat Al An’am ayat 7 :
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Dalam ayat diatas ada kata-kata “Fa lamasuhu” dasarnya adalah “lamasa”. Jadi “lamasa” itu nyentuh bukan setubuh.


Insya Allah Bersambung …… menurut kitab Hadist dan Kitab-kitab ulama yang muktabar

Kamis, 07 Februari 2013

QUNUT SUBUH SEBUAH FAKTA YANG TAK TERBANTAHKAN

Kaum Wahabi membid’ahkan adanya qunut subuh, ketika mereka bermakmum dengan orang yang berqunut, ia melempangkan tangan disaat Imam berqunut, adakah dasar perbuatan yang melempangkan tangan yang seperti demikian itu?
Jawab:
Perbuatan itu tidak berdasar, tentu shalatnyapun tidak syah. Ada 6 alasan yang menyebabkan shalatnya tidak syah.
1.       Mereka mengatakan qunut itu bid’ah. Sedangkan setiap pelaku bid’ah, amalnya menurut mereka sesat dan tertolak. Kalau kita ikuti cara berfikir mereka, maka bermakmum kepada pelaku bid’ah itu tidak syah.
2.       Melanggar syariat. Mereka selalu memakai Quran dan Hadist, maka inilah Hadistnya. Rasulullah SAW bersabda :
اِنَّمَا جُعِلَ الْاِمَامُ لِيُؤْ تَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوْاعَلَيْهِ
Artinya : Hanyasanya dijadikan imam itu untuk diikuti secara sempurna, maka janganlah kalian menyalahinya. (HR. Bukhari & Muslim)
3.      Menambah nambah tata cara shalat berjamaah yang tidak dicontohkan. Kalau orang bertanya, kapankah Nabi SAW berqunut, kami persilahkan untuk melihat dalam buku ini , nah sekarang kami bertanya, kapankah pernah terjadi ketika Imam berqunut sebagian jamaah melempangkan tangannya dibelakang imam?? Jawablah.
4.      Ketika ia melempangkan tangan, berarti ia telah putus dengan imam
5.      Qunut, bukan I’tidal dan I’tidal bukan qunut. Ada 4 hal yang membedakannya yaitu : Bacaan, kelakuan, waktu, dan mengucap amin. Penjelasannya adalah :
1.      Bacaan I’tidal berbeda dengan bacaan qunut.
2.      Dalam qunut menadahkan tangan, sedangkan ketika I’tidal tidak
3.      Waktu qunut setelah I’tidal
4.      Dalam I’tidal, makmum tidak mengucapkan amin.
Ketika ia melempangkan tangannya dengan alas an menunggu imam, berarti ia telah memanjangkan I’tidal ( rukun yang semestinya pendek)
     6.    kalau mereka melempangkan tangan, berarti mereka tidak ikut imam, kalau mereka tidak    ikut imam, mengapa mereka masih menunggunya. Adakah dalil yang membolehkan menunggu imam yang tidak kita ikuti??, kalau bicara dalil jangan tanggung-tanggung.
Kalau mereka mengatakan “Qunut subuh itu bid’ah” kita dapat menunjukkan hadist tentang adanya qunut subuh yang mereka katakan bid’ah itu, tetapi tanyakan pada mereka, “Mana hadist yang membolehkan mereka melempangkan tangan ketika imam berqunut”???, kalau mereka tidak dapat menunjukkan ayat ataupun hadistnya, maka pertanyaan kita adalah :
Siapa yang telah berbuat bid’ah dalam shalat, kita yang berqunut atau mereka yang melempangkan tangan ?
Andaikan ulama’ mereka berbohong dengan mengatakan : hadistnya ada tapi saya tidak menghapalnya, tentu perkataannya memukul balik pendapat mereka sendiri.
Contoh :
Misalkan dia berkata : “ada riwayat yang shahih menjelaskan tentang bolehnya melempangkan tangan ketika imam berqunut”
Jawaban kita : berarti qunut juga termasuk dalam riwayat shahih yang tuan katakan itu juga. Nah, kalau demikian, mengapa kalian mengatakan qunut itu bid’ah?? Padahal anda telah sebutkan hadist tadi, berarti anda telah mengakui ada dalam riwayat yang shahih yang anda sebutkan itu
MELEPAS BELITAN WAHABI ( Karya Abi Maulana Syarifuddin)
Catatan Penting :
Hadist yang mengatakan “Ikhtilaf umatku itu adalah rahmat” itu adalah hadist Maudhu’ (palsu). Hal ini diterangkan oleh al – Hafidz al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq al Ghimari, pada bab, Al Mughayyir al- hadists al Maudhu’ah dalam kitab Al-Jami’ash-Shaghir (hlm 16-17) ia mengatakan bahwa hadists ini Maudhu’ (Palsu)
Jadi dengan demikian jangan nantinya ketika terpojok lalu mengatasnamakan Khilafiah itu rahmat dsb, untuk menyelamatkan diri. Wallahu A’lam.
 INGAT!!! BERHUJJAH DENGAN KELOMPOK WAHBABI INI HARUS DIKLARIFIKASIKAN DULU JANGAN MAU BERALIH KEPADA MASALAH-MASALAH YANG LAIN

APAKAH ANDA SUNNI ATAU WAHABI ??????????

Kekeliruan besar sebagian orang menyebut dirinya sunni (Ahlussunnah waljama'ah), tiada pengetahuan tentang Sunnah pada mereka kecuali hanya nama, lalu mereka berbangga-bangga dengannya seolah hanya merekalah yang selamat, Sunnah pada pandangan mereka seperti barang tercecer di padang sunyi yang ditemukan seorang pemungut alias tukang butut. Karakter merekapun seperti tukang butut, padahal mereka sangat jauh dari yang mereka pikirkan.

Sebagian lain memproklamirkan diri Sunni bukan Wahabi, dan alangkah mengherankan kalau orang yang mengatakan diri Sunni itu hanya bermodalkan kebodohan dan keberanian, bagaimana akal mencerna orang bodoh itu Sunni? Ulama saja mengaku diri mereka lemah mencapai Sunni hakiki kecuali orang- orang khusus saja, itupun mereka sedikit, bagaimana dengan orang-orang jahil, mereka di suatu lembah, Sunnah Kenabian di Iembah lain (jauh panggang daripada api).

Maka baru bisa disebut Sunni (Ahlulsunnah Waljamaah] adalah yang mengikuti Sunnah Rasulullah Saw dan Sahabat Serta mengikuti perkataan, perbuatan, Cara hidup dan akhlak mereka, hal ini membutuhkan pada ilmu dan amal, bila tiada Ilmu itu namanya Sunni bodoh, tentunya mustahil menjadi Ahlussunnah Waljamaah. bila tiada amal. ini disebut Sunni Alim. namun belum sempurna, oleh karena harus berkumpul antara ilmu dan Amal, iika tidak berarti mereka hanya Sunni Lisan, tiada Iain. Maka kami tidak menerima Sunni jahil walaupun berjenggot panjang dan banyak ibadahnya, di dalam hadist:
 "Yang paling jahat dari umatku adalah orang berilmu,yang merusak dan orang bodoh yang banyak  ibadah"

Seperti Lantunan seorang Penyair :

"Kehancuran besar Alim perusak, terlebih lagi Si bodoh dengan ibadahnya. Keduanya fitnah besar bagi Alam untuk yang mengikutinya dalam Agama"

Penyair Lain berkata :

كم لحية طا لت على ذقن جاهل    وما تحته الا الغباوة والجهل
"Berapa banyak jenggot panjang diatas dagu, Tiada dibawahnya kecuali kedunguan dan kebodohan"

Sunnah Nabi dapat dilihat dari diri Sesorang pada sekalian gerak, diam, berhati-hati dalam tiap-tiap ibadah dan mu'amalah, cara berjalan. berbicara, makan, minum dan lain-lain, semua itu wajib pada manusia, seorang yang mengikut Sunnah tidak melakukan suatu perbuatan sebelum mengetahui hukum Allah SWT tentangnya dan bertanya pada Ulama dan mengikuti orang yang mengikuti Sunnah Nabi , Dari inilah kita kenal bahwa Sunni bukanlah pada gaya yang khas atau bentuk tertentu bahkan lebih mulia pada persoalan ini kita sembunyikan agar tidak menyeret Orang-orang bodoh dan beraqidah lemah mengikuti kita, karena melihat Sorban atau jenggot kita sesuai hadits Nabi :
   ان الله لا ينظر الى  صوركم ولا الى اقوالكم ولكن ينظر الى ما فى قلوبكم واعمالكم
 " Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat pada rupa kamu dan tidak pada segala perkataan kamu tetapi melihat pada apa yang ada dihati dan perbuatanmu"

 Kita faharni dari celah-celah hadits mulia ini, tampilan- tampilan imitasi yang dipegang oleh sebagian orang yang menyebut diri Wahabi seperti tebalnya jenggot. pakaian putih, bersorban dan sejenisnya tidak mencukupi sebagai pengenal Ahlussunnah Waljama’ah yang sehenarnya, mereka berserta fanatiknya sungguh tersalah dalam menganggap Ahlussunnah Waljamaah sehingga mereka hanya mengikut dari segi pakaian atau tampilan luar saja.

Hanyasanya dikenal AhIussunnah(Sunni) dengan Taqwa secara tersembunyi atau terang-terangan, dan menuruti segala perintah serta menjauhi larangan dan dengan benar pada perkataan dan ikhlas pada amal dan istiqamah menjalankan tugas-tugas fardhu dan sunnah dengan mengerjakan secara sempurna tanpa kekurangan. Dan juga Ahlussunnah dikenal dengan menggosongkan iiwa dari sifat - sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat dan akhlak mulia.

Diantara Karakter Ahlussunnah ialah menyeru manusia kepada Agama Allah SWT dengan penuh hikmah dan nasehat yang baik dan dengan debatan yang paling bagus tidak mencela, melaknat,kasar, keras tetapi dengan penuh kemudahan, lemah lembut, memaafkan. menyampaikan kabar gembira dan ini tidak melenceng dari mengikut Rasul Mulia yang besabda : "Saya tidak di utus untuk mencela dan melaknat!”.

Dan Firman Allah SWT yang artinya Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.

Ahlussunnah (sunni) dengan ibarat yang ringkas adalah orang meletakkan kaki diatas di atas kaki Rasulullah. maksudnya mengikuti semua perkataan dan perbuatan sesuai dengan Rasullullah SAW yang membenarkan lisan halnya akan lisan maqal (sesuai perkataan dan perbuatan) serta berakhlak mulia ketika sendiri atau bersama orang lain [sir dan jahhr] dan seluruh tindahkan dan mua’amalah dengan manusia.

Sunni tidak menampak-nampakkan kesunniannya dan Tidak berbangga-bangga karenannya bahkan menyembunyikan sebisanya sebab rasa khawatir dia belum mencapai Ahlussunnah hakiki. Dan Sunni menjauhi diri dari dusta, gosip, mengadu domba Menjauhi cinta dunia yang fana dan hawa nafsu, ridha dan Lapang dada dengan manis pahitnya taqdir Allah SWT dan tidak terlintas Dihati rasa dengki dan Serta melihat dirinya Iebih dari orang lain, kesibukannya Muraqabah (mengintai atau memeriksa) hatinya masuk selain Allah SWT dan mengobati semua penyakit Takabbur,dengki, ujub, loba, Serta menyucikan kotoran nafsu dan Was-was Setan dan meninggalkan banyak berceloteh dan hal sia- sia, juga memelihara dirinya dari syubhat (ketidak jelasan] pada makanan, minuman dan pakaian dan takut melakukan tipu daya pada jual beli dan memelihara hak-hak tetangga, menahan disakiti mereka dan hormat yang besar muslim dan kasih sayang pada yang kecil dan menolong orang - orang lemah dan membutuhkan, mendahulukan kemaslahatan umum dari manfaat khusus, menyambung orang yang memutuskan silahturrahmi dengannya dan memberikan yang tidak memberi apa - apa untuknya, memaafkan kedzaliman orang lain, cinta orang lain seperti dia mencintai dirinya, dan menyandarkan dan menyerahkan oleh Sunni segala kejadian pada AlIah SWT tidak aman dari makar Allah SWT dan tidak putus asa pada Rahmat AIlah SWT bahkan dia Diantara takut dan harap [khauf dan raja'], tidak menganggap diri Lebih suci dan ujub ilmu dan amalnya seperti pada Hadist :

 " Tiap-tiap manusia binasa kecuali orang 'Alim dan orang 'Alim binasa kecuali orang beramal dan yang beramal juga binasa kecuali Ikhlas dan orang ikhlas di atas bahaya yang besar"

(Artinya kadangkala mereka merasa ikhlas padahal belum ikhlas, orang yang tahu dirinya ikhlas itu namanya belum ikhlas)

Demikianlah secuil dari Akhlak Sunni (Ahlussunnah waljama'ah), sifat ini lihatlah pada diri anda wahai saudara Wahabi jika anda demikian maka anda adalah Sunni sejati, jika belum memiliki sifat-sifat tersebut!!! berarti bukan Sunni, takutlah anda menjadi orang yang pandai berkata-kata tapi tidak pandai beramal Firman Allah SWT :

كبر مقتا عند الله أن تقولوامالا تفعلون
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.(As-Shaf ayat 3)


Rabu, 06 Februari 2013

Dua Sebab Siksa Di Alam Kubur

Ketahuilah bahwa kenikmatan dan segala kebahagiaan yang dicipta oleh Allah subhanahu wata’ala terbagi menjadi dua bagian, yaitu kenikmatan di dunia dan kenikmatan di akhirat. Dan sungguh beruntung mereka yang menjadikan kenikmatan di dunia sebagai pembuka kenikmatan di akhirat kelak, sebaliknya merugilah mereka yang menjadikan kenikmatan dunia sebagai alat untuk melewati kehidupan yang membuat mereka jauh atau bahkan melupakan Allah subhanahu wata’ala karena terlarut hanya dalam kenikmatan dunia, sehingga mereka menghadapi kehidupan dunia yang fana dengan penuh kenikmatan, dan kehidupan akhirat yang kekal akan dihadapi dalam kehinaan, wal’iyadzubillah (semoga Allah melindungi dan menjauhkan kita dari hal tersebut).

Senantiasalah ingat akan firman Allah subhanahu wata’ala:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
( آل عمران : 185 )
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. ( QS. Ali Imran : 185 )
Kehidupan dunia hanyalah kehidupan fana yang penuh dengan permainan, sandiwara dan tipuan-tipuan belak. Maka dalam kehidupan fana yang penuh dengan permainan dan tipuan ini, Allah subhanahu wata’ala menerbitkan matahari penerang kehidupan, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana telah Allah sebutkan dalam Al qur’an sebagai “ Penyeru kepada Allah dan pelita yang terang benderang”, sebagaimana firmanNya :
وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
( الأحزاب : 46 )
“Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”. ( QS. Al Ahzab : 46 )
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penyeru manusia ke jalan Allah subhanahu wata’ala dan sebagai pelita yang terang benderang, yang menerangi kehidupan kita dan menyejukkan sanubari kita serta mempermudah segala kesulitan dalam kehidupan kita. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
( الطلاق : 2 )
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” ( QS. At Thalaq: 2 )
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
( الطلاق : 4 )
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” ( QS. At Thaalaq : 4 )
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
( الطلاق : 5 )
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” ( QS. At Thaalaq : 5 )
Dan bagaimana cara kita bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala, panutan kita dalam hal ini adalah pimpinan kita sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang membawa kita kepada keluhuran dan kemudahan, membawa kita kepada ketenangan, membawa kita kepada kesejukan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat, maka panutlah beliau dalam menghadapi kehidupan kita di dunia ini.
Sampailah kita pada hadits luhur:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ : إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
(صحيح البخاري)
“Dari Ibn Abbbas Ra berkata, Nabi SAW melewati dua kuburan dan bersabda: “Sungguh keduanya tersiksa, dan bukan tersiksa sebab dosa yang sangat besar, namun salah satunya tidak menutup aurat (membuka auratnya dihadapan orang lain) saat buang air kecil, dan yang satunya sering mengadu domba orang lain, lalu beliau SAW mengambil sehelai daun yang masih segar, dan membelahnya menjadi dua, dan menaruhnya masing-masing helai di masing masing kubur tersebut, maka orang orang bertanya: Wahai Rasulullah, untuk apa engkau perbuat itu?, maka beliau SAW bersabda: semoga diringankan untuk keduanya sebelum potongan daun ini mengering” (Shahih Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu waktu melewati dua kuburan, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa kedua penghuni kuburan tersebut sedang disiksa di dalam kuburan mereka, hal ini menunjukkan bahwa beliau mengetahui dan mendengar siksa kubur. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa mereka tidaklah disiksa sebab perbuatn dosa besar, kemudian beliau mengambil selembar daun yang masih basah lalu membelahnya menjadi dua bagian, yang masing-masing bagian diletakkan di atas kedua kuburan tersebut.
Para sahabat yang melihat hal tesebut lantas bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengapa beliau melakukan hal itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Semoga Allah meringankan siksaan kedua orang ini sebelum daun itu mengering”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa mereka disiksa bukan karena perbuatan dosa yang sangat besar, karena juga dijelaskan dalam riwayat yang lainnya di dalam Shahihul Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan dosa yang sangat besar, lantas beliau terdiam dan kemudian berkata : “akan tetapi termasuk dosa besar”, maka untuk mempermudah pemahaman dari hadits tersebut adalah bahwa perbuatan itu bukanlah termasuk dosa yang sangat besar seperti syirik, membunuh, berzina dan yang lainnya, namun hal tersebut termasuk dosa besar di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan perbuatan tersebut sering dan banyak diremehkan oleh orang.
Perbuatan dosa yang dilakukan kedua penghuni kubur itu adalah:
Pertama, tidak menutupi aurat ketika membuang air kecil, yaitu membuang air kecil di hadapan orang lain. Mungkin anak kecil yang belum baligh masih banyak yang membuang air kecil dihadapan orang, namun seorang anak yang sudah baligh seharusnya tidak memperbuat hal tersebut, maka selayaknya bagi setiap orang tua untuk mengajari anak-anaknya agar tidak membuang air kecil sembarangan hingga terlihat auratnya oleh orang lain, dan aurat tidak boleh terlihat bukan hanya ketika membuang air kecil saja namun dalam segala keadaan.
Kedua, adalah banyak mengadu domba orang lain (namiimah), menukil ucapan Hujjatul Islam Al Imam An Nawawi bahwa makna “Namiimah” adalah menyampaikan ucapan orang kepada yang lainnya kemudian memunculkan kebencian antara satu dengan yang lainnya, sehingga mereka saling bermusuhan akibat perbuatan tersebut. Maka tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat bahwa kedua orang penghuni kubur tersebut adalah ummat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang ditimpa kesulitan di dalam kubur mereka, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak rela hal itu terjadi atas ummatnya.
Akan tetapi meskipun mereka telah berbuat dosa namun masih tetap diberi syafaat oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dengan meletakkan daun di atas kedua kubur tersebut agar diringankan siksa kubur mereka sebelum daun itu mengering. Maka hadits ini menjadi dalil bahwa syafaat nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam tidak hanya ada ketika di hari kiamat saja, namun syafaat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bisa terjadi di alam barzakh (kubur) bahkan di alam dunia, karena beliau sangat peduli terhadap ummatnya dan tidak rela jika kesulitan menimpa mereka, dimana segala sesuatu yang membuat ummatnya sulit atau dalam masalah, maka hal tersebut juga membuat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merasa sulit. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
( التوبة : 128 )
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” ( QS. At Taubah : 128 )
Jika diantara kita tertimpa kesulitan atau musibah, maka hal itu juga akan memberatkan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau sangat menjaga ummatnya dengan tuntunan-tuntunan mulia beliau agar terjauhkan dari segala kesulitan baik di dunia atau di akhirat, begitu juga dengan doa-doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ummatnya dari zaman beliau hingga di akhir zaman, serta dengan syafaat kubra kelak di hari kiamat. Inilah indahnya nabi kita, yang paling peduli kepada kita, di saat semua kekasih kita melupakan kita, orang-orang yang mencintai kita akan meninggalkan dan melupakan kita jika mereka bukanlah termasuk orang-orang yang shalih, namun nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan pernah melupakan ummatnya selama mereka masih mengakui kalimat syahadat :
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهَ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله
“ Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah”
Meskipun barangkali diantara mereka masih ada yang akan melewati kehidupan yang sulit kelak di akhirat, namun kesulitan itu tidak akan abadi karena semua kesulitan ummat ini akan berakhir dengan syafaat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita berharap agar semua kesulitan kita di dunia dan di akhirat termudahkan dengan syafaat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dijelaskan dalam riwayat Shahihul Bukhari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda seraya menunjuk kepada gunung Uhud :
إِنَّ أُحُدًا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ
“ Sesungguhnya Uhud adalah gunung yang mencintai kami, dan kami pun mencintainya”
Gunung Uhud hanyalah tumpukan batu namun ternyata juga mencintai sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan cintanya dijawab oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka terlebih lagi cinta kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam seharusnya melebihi cinta gunung Uhud itu, dan kepedulian kita terhadap beliau dan dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam akan berganti dengan cinta beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita, serta limpahan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala berupa kemuliaan-kemuliaan yang Allah berikan untuk kita dalam kehidupan dunia yang dari sana akan muncul kemuliaan dalam kehidupan akhirat kelak, insyaallah.
Dan layak kita fahami bahwa dalam kehidupan ini, kita telah mendapatkan anugerah besar yang berupa kalam Allah subhanahu wata’ala, yaitu Al qur’anul Karim yang merupakan surat kasih sayang Allah yang menuntun kita untuk mencintai dan dicintai Allah subhanahu wata’ala yang dibawa oleh sang pembawa Al qur’an sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Al quran itu berisi kalimat-kalimat suci dari Allah subhanahu wata’ala yang layaknya menerangi hari-hari dalam kehidupan kita, layaknya menerangi bibir kita, layaknya menerangi rumah-rumah kita, dan selayaknya menerangi jiwa-jiwa kita. Namun saat ini lihatlah bagaimana keadaan rumah-rumah kita, barangkali di sebagian rumah telah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tidak terdengar suara lantunan kalimat-kalimat Allah dibacakan, tidak ada orang yang membaca Al qur’an di dalamnya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اَلْبَيْتَ الَّذِيْ يُقْرَأُ فِيْهِ اْلقَرْآنُ يَتَرَاءَى لِأَهْلِ السَّمَاءِ كَمَا تَتَرَاءَى النُّجُوْمُ لِأَهْلِ اْلأَرْضِ
“ Sesungguhnya rumah yang didalamnya dibacakan Al quran maka akan terlihat oleh penduduk langit (malaikat) sebagaimana terlihatnya bintang-bintang oleh penduduk bumi”
Rumah-rumah yang didalamnya dibacakan Al qur’an tampak terang benderang oleh penduduk langit, maka bagaimanakah keadaan rumah-rumah kita, apakah terlihat gelap seperti gelapnya malam, ataukah terlihat berpijar seperti bintang dan terlihat indah dari langit oleh para malaikat Allah. Maka terangilah rumah-rumah kita dengan Al qur’an, terangilah bibir-bibir kita dengan kalimat-kalimat Allah subhanahu wata’ala.
(Disunting dari ceramah Habib Munzir al-Musawa dalam majelisnya di Masjid al-Munawwar Pancoran)

Kesetaraan Gender Bukan Solusi

‘Tafsir’ Kebencian
Jika ditelusuri, equality dalam feminisme memang bukanlah doktrin yang mengusung keadilan yang sesungguhnya,  tetapi sejak semula berdasarkan ideologi kebencian. Asal-usulnya dari Barat, bukan dari tradisi Islam. Dipicu oleh pandangan buruk (misogynic) orang Barat terhadap wanita. Buku John Mary Ellmann, Thingking About Women, yang terbit pada tahun 1968 di New York mengungkap pelecehan-pelecehan orang Barat sejak zaman dahulu terhadap wanita. Gereja menuding perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan malapetaka (Syamsuddin Arif:Menyikapi Feminisme dan Isu Gender). Korban inkuisisi (lembaga yang mengeksekusi para pembangkang Gereja) ternyata banyak dari kalangan wanita. Sejak lama, Barat membenci wanita.
Kebencian ini lantas direspon secara ekstrim. Mary Wollstonecraft pada abad ke-17 disebut-sebut wanita Barat yang paling getol melawan misoginisme itu. Mary kemudian diikuti oleh yang lain seperti Helene Brion (Prancis), Clara Zetkin (Jerman), Anna Kuliscioff (Italia) dan lain-lain. Semua memiliki frame pemikiran sama; wanita harus bebas dari laki-laki, sebebas-bebasnya. Misalnya, kepuasan biologis tidak harus dari laki-laki tapi dari sesama perempuan (lesbianisme), mencemooh institusi pernikahan, dan tidak mau menyusui. Bahkan mantan capres AS, Pet Robertson, memprovokasi wanita agar meninggalkan suami, membunuh anak-anaknya, dan menjadi lesbian. Wanita Barat, yang sekian abad dilecehkan, mendapatkan angin baru.
Hanya, ‘angin baru’ yang mereka dapatkan bukanlah pencerahan tapi respon yang traumatik. Buktinya, yang terjadi dalam masyarakat Barat adalah semacam ideologi balas dendam terhadap lelaki yang telah lama membenci wanita. Lelaki adalah biang penistaan itu. Segala hal yang berbau kelaki-lakian dibenci.  Ini artinya, paham feminisme atau kesetaraan gender dipicu oleh respon traumatik terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya orang Barat terhadap wanita.
Jadi worldview feminisme adalah equality sedangkan ideologinya adalah benci kelaki-lakian. Di kalangan aktifis feminis Indonesia, lahir pemahaman ‘tafsir’ gender. Ayat poligami, konsep iddah,dan konsep waris didekonstruksi. Iddah memihak laki-laki, waris Islam merendahkan perempuan dan poligami merupakan bentuk kekerasan laki-laki pada perempuan. Ayat al-Qur’an dibongkar atas dasar rasa curiga berlebihan terhadap lelaki. Feminis Indonesia, Siti Musdah Muliah dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam,terpengaruh ideologi kebencian itu. Ia Mengusulkan perlunya penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur’an karena penafsiran yang ada dituding sebagai konspirasi ulama’ – yang berjenis kelamin laki-laki – untuk menempatkan wanita sebagai pihak subordinat.
Ideologi kecurigaan tersebut akhirnya melewati batas-batas kodrat dan fitrah kemanusiaan. Lesbian dan homoseks dihalalkan asalkan dilakukan  tanpa merusak kemanusiaan (Musdah Mulia: Islam Agama Rahmat Bagi Alam Semesta). Kepuasaan biologis kenapa harus dengan lelaki, jika dengan sesama perempuan bisa diperoleh? Apalagi lelaki itu cenderung merendahkan wanita. Begitu kira-kira logika kaum feminis, yang justru merusak kodrat manusia itu sendiri.
Frame pemikiran tersebut hanyalah adopsi pengalaman masyarakat Barat. Dalam tradisi Islam tidak dijumpai misogynic, budaya patrriarkhi dan lain-lain. Jadi, feminisme adalah paham yang dihasilkan dari pengalaman lokal, tapi dipasarkan secara global. Pengalaman manusia Barat belum tentu sama dengan pengalaman masyarakat yang bertradisi Islam. Akibatnya, banyak timbul ketimpangan-ketimpangan. Masyarakat muslim yang telah lama memuliakan wanita, menempatkan pria dan wanita secara proporsional sesuai kodrat, tiba-tiba dipaksa ikut-ikutan mencurigai pria.

Problem Keadilan
Kesetaraan yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya, kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial.  Mungkinkah olah raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal keadilan itu tidak harus sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua kalangan mengakui, jika di-‘publish’ akan menarik perhatian pria.
Begitu pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Kedudukan dan derajat suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak dapat dinilai bahwa suami lebih tinggi derajatnya dibanding istri. Ini juga hanya pembagian tugas. Masing-masing memiliki tugas. Persoalan yang terjadi dalam pikiran kaum feminis adalah cara pandang. Mereka mengira, derajat dan kedudukan itu semata-mata diukur secara material dan empirik. Mereka menganggap jabatan pemimpin itu tanda kemuliaan. Seperti halnya mengira harta yang banyak itu membahagiakan, padahal belum tentu. Dalam Islam, jabatan kepempimpinan dan harta itu amanah, tugas dan perintah yang harus dijalankan dengan baik.
Dalam Islam, meski istri itu pihak yang dipimpin, bukan berarti ia rendah. Justru ia begitu dimuliakan. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Syarh ‘Uqudul Lujjanin, mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ternyata tugas memasak, mencuci pakaian itu tugas suami, bukan istri. Bahkan istri yang menyusui anaknya harus diberi ganti ongkos oleh suami. Ini semata-mata untuk memuliakan kedudukan wanita.
Jadi, kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam konsep Islam telah jelas diterangkan. Apalagi sampai merombak syari’ah dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akant tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata ikhlas mencarikan wanita keadilan dan kemulyaan.

Usul Tak Mulia Si Musdah

Melawan Syariat
Lebih jauh, wanita bergelar profesor doktor itu memberi alasan: “Kalau itu keyakinan mereka dan mereka bahagia dengan pernikahan beda agama, kenapa kita jadi mempermasalahkan?”
Tentu saja argumentasi dari dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang masuk dalam buku “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” itu menggelikan. Bahwa, aturan Allah tentang pernikahan dia lawan dengan hanya bersandar kepada akal dan perasaan saja. Lihatlah –sekali lagi- ukuran dari wanita kontroversial itu dalam menetapkan bolehnya nikah beda agama, yaitu: 1).Pasangan tersebut yakin bahwa itu benar. 2).Pasangan tersebut merasa bahagia. 3).Hal ini sebagai konsekuensi dari masyarakat yang plural.
Dalam konteks hukum nikah beda agama, tentu saja lebih bisa kita yakini kebenarannya jika kita mengambil fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pedoman. Cermatilah fatwa MUI tentang Perkawinan Campuran yang dikeluarkan pada 1/6/1980. Dalam fatwa tersebut, MUI (yang -waktu itu- diketuai Prof Dr HAMKA dengan Sekretaris Umum Drs H Kafrawi) merujuk pada QS Al-Baqarah [2]: 221, QS Al-Maaidah [5]: 5, QS Al-Mumtahanah [60]: 10, dan QS At-Tahrim [66]: 6. Fatwa itu juga merujuk sejumlah sabda Rasulullah SAW.
Isi fatwanya: Pertama, perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Adapun tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab diakui memang terdapat perbedaan pendapat. Tetapi, setelah memertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut juga haram hukumnya.
Mari kita renungkan (sebagian) ayat-ayat yang dijadikan sandaran MUI: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (QS Al-Baqarah [2]: 221).
(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi(QS Al-Maaidah [5]: 5).
Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka(QS Al-Mumtahanah [60]: 10).
Namun, sekalipun hukum sudah jelas, enam belas tahun setelah terbitnya fatwa itu di masyarakat tetap muncul masalah, terbukti dengan terjadinya banyak pelanggaran. Maka, diterbitkanlah lagi fatwa MUI soal Prosedur Perkawinan pada 19/4/1996. Fatwa ini lahir karena MUI telah “Menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung, tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat di sekitar masalah tersebut”.
Ternyata, persoalan tentang ini terus mengemuka. Ini terlihat dengan ditetapkannya lagi Fatwa MUI (secara lebih tegas) tentang Perkawinan Beda Agama pada 28/7/2005. Bahwa: 1). Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2). Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Apa pertimbangan Fatwa MUI bernomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama itu? Disebutkan, bahwa 1).Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2).Perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3).Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4).Untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah-tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Fatwa MUI tentang hukum perkawinan beda agama memang harus terus kita sebarkan. Sebab, -antara lain- karena banyak kasus pemurtadan yang terjadi karena ketidaktahuan soal hukumnya atau karena termakan oleh pendapat kalangan tertentu yang dengan cukup massif ‘berkampanye’ tentang bolehnya nikah beda agama.
Seperti apa celah pemurtadan yang kerap terjadi? Seorang laki-laki nonmuslim ‘bersedia’ masuk Islam agar ia tak terhalang (oleh hukum) untuk mengawini wanita muslimah. Tetapi, setelah maksudnya tercapai, dia lalu kembali ke agama asalnya. Bahkan itu tak cukup, karena dia pun mengajak (paksa) istri dan anak-anaknya.

Jangan Terjerat!

Mari jaga kemuliaan kita sebagai kaum beriman dengan cara selalu istiqomah berpegang kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali itu, kita pun perlu menjadikan fatwa para ulama yang shalih (yang dengan keshalihannya patut menyandang status sebagai pewaris para Nabi) dalam menyikapi suatu persoalan tertentu.
Kita memang pantas ekstrahati-hati berkaitan dengan masalah nikah beda agama. Jangan percaya jika ada yang membolehkan pernikahan beda agama sekalipun dia dosen UIN bergelar profesor doktor.