Sifat-Sifat Rasul
وَمَآ أَرْسَلْنَا
قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوْحِى إِلَيْهِمْ
“Kami tiada mengutus
rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang
Kami beri wahyu kepada mereka”.(Al-Anbiya’ 21:7)
Karena itulah dikatakan rasul adalah :
رَجُلٌ اُوْحِيَ اِلَيْهِ بشَرْعٍ وَاُمِرَ
بتَبْلِيْغِهِ لِلْخَلْقِ
Artinya :
"Laki-laki yang diberi
wahyu dengan hukum syara' dan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu itu pada
makhluk".
Bila tidak diperintahkan untuk menyampaikan
pada makhluk maka disebut Nabi. Jadi setiap Rasul adalah Nabi tetapi tidak
setiap Nabi diangkat sebagai Rasul.
Adapun yang wajib pada sekalian Rasul
alaihimush sholatu wasalam yang mana setiap mukallaf wajib dalam hukum syara'
mengetahuinya dengan sekalian dalilnya yaitu empat sifat dan yang mustahilpun
empat juga yang merupakan lawan dari sifat yang wajib dan satu sifat yang
harus. Adapun
empat sifat yang wajib yaitu :
1). Shiddiq ( صِدْقٌ ) artinya benar mustahil kadzib artinya dusta.
Arti shiddiq atau benar adalah :
مُطَابَقَةُ
خَبرِهِمْ لِلْوَاقِعِ وَلَوْبحَسْبِ اِعْتِقَادِهِمْ
Artinya :
"Berita yang dibawa para
Rasul sesuai dengan kenyataan walau dari segi i'tiqad saja".
Jadi semua perkataan para Rasul benar dan
tidak ada yang dusta. Adapun dalil atas benarnya mereka adalah :
لَوْ كَذَبُوْا
لَكَانَ خَبرُ اللّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى كَاذِبًا وَهُوَ محـَالٌ
Artinya :
"Seandainya mereka berdusta maka khabar dari Allah SWT
dusta pula dan itu mustahil".
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan pada mereka mukjizat
yang mana hal itu sebagai bukti kebenaran dari setiap apa yang mereka
sampaikan. Mukjizat itu dapat diserupakan atau disama-kan dengan pernyataan
dari Allah dimana seakan-akan Allah SWT berfirman :
صَدَقَ عَبْدِى في
كُلِّ مَا يُبَلِّغُ عَنِّي
Artinya :
"Benar hamba-Ku bahwa setiap apa yang disampaikan-nya itu dari-Ku".
2). Amanah
( أَمَانَةٌ ) artinya terpercaya
mustahil khianat.
Amanah maksudnya terpelihara lahir
dan batin dari perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala walaupun perkara yang
makruh ataupun khilaful aula (menyalahi yang utama) yang didorong oleh hawa
nafsunya. Dengan kata lain seluruh Rasul adalah makshum (dijaga Allah Ta'ala)
dari perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala.
Adapun apa yang terlihat dari
perbuatan Rasul yang nampaknya menyalahi perintah seperti Nabi Adam AS yang
memakan buah yang dilarang Allah Ta'ala atau Nabi Muhammad SAW berwudhu'
sekali-sekali padahal yang utamanya tiga kali-tiga kali atau pernah Nabi SAW
minum sambil berdiri atau sembahyang dengan lupa rakaat, maka semua itu bukan
didorong oleh hawa nafsunya bahkan bagi mereka itu merupakan ibadah.
Sabda Nabi SAW :
اِنِّيْ
لاَاَنْسِىْ وَلَكِنْ اُنْسَى
Artinya : “Sesungguhnya aku tidak
lupa tetapi dilupakan”.
Hal itu semua adalah untuk
menzhohirkan hukum Syara', bukan sebagai pengingkaran atau karena ingin
menyalahi yang utama. Adapun dalil sifat amanah pada para Rasul adalah :
اَنَّهُمْ
لَوْخَانُوْابفِعْلِ محـَرَّمٍ اَوْمَكْرُوْهٍ لَكُـنَّا مَأْ مُوْرِيْنَ بمِثْلِ
ذلِكَ وَلاَيَصِحُّ اَنْ نُؤْمَرَ بمـُحَرَّمٍ اَوْمَكْرُوْهٍ
Artinya :
“Seandainya mereka khianat dengan mengerjakan perkara yang haram atau yang
makruh tentu kitapun diperintahkan untuk mengerjakan seperti itu sedangkan kita
tidak diperintahkan mengerjakan perkara yang haram dan yang makruh”.
3). Tabligh ( تَبْلِيْغٌ ) artinya menyampaikan mustahil kitman artinya menyembunyikan.
Tabligh dimaksud yaitu menyampaikan
apa yang diperintahkan Allah Ta'ala dari wahyu yang telah diturunkan pada
mereka walau-pun apa yang mereka sampaikan itu berlawanan dengan yang diinginkan
oleh orang-orang kafir. Kemudian apa yang disuruh mereka sampaikan maka itupun
merupakan kewajiban kita seba-gai umatnya untuk menyampaikannya pula. Dalam
kaidah ushul disebutkan :
مَا اُمِرَ
لِنَبـيّه اُمِرَ لاُمَّتِه
Artinya :
“Setiap perkara yang diperintahkan pada Nabinya, diperintahkan pula pada
umatnya".
Adapun dalil sifat ini bagi mereka
adalah :
اَنَّهُمْ
لَوْكَتَمُوْا شَيْئًا ِممـَّا اُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لَكُـنَّا مَأْمُوْرِيْنَ
بِكِتْمَانِ الْعِلْمِ وَلاَيَصِحُّ اَنْ نُؤْمَرَبه لاَنَّ كَاتمَ الْعِلْمِ
مَلْعُوْنٌ
Artinya :
“Bahwasanya
jika mereka menyembunyikan perkara yang diperintahkan pada mereka untuk
menyampaikannya maka diperintahkan pula pada kita untuk menyem-bunyikan ilmu
sedangkan perkara itu tidak sah tidak seperti itu karena bahwasanya orang yang
menyembunyikan ilmu itu dilaknat”.
إِنَّ الَّذِيْنَ
يَكْتُمُوْنَ مَآ أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا
بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ في الْكِتَابِ اُولئِكَ يَلْعَنُهُمُ الله وَيَلْعَنُهُمُ
اللاَّعِنُوْنَ
Artinya :
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan dila`nati (pula) oleh
semua (makhluk) yang dapat mela`nati”.
4). Fathonah
( فَطَانَةٌ ) artinya sempurna
pemahaman (cerdik/cerdas) mustahil baladah artinya dungu.
Seorang Rasul diutus pada suatu kaum
yang mana dia harus menyampaikan apa yang diperintahkan padanya. Untuk
menyampaikan risalah itu dibutuhkan kecerdasan karena jika tidak akan sangat
mudah dibantah apa yang mereka sampaikan. Sesuatu yang baik tetapi karena
metode penyampaian yang salah dapat berakibat apa yang terjadi tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Jadi untuk menyampaikan risalah dibutuhkan Rasul yang
mempunyai pemahaman yang sempurna. Karena itulah setiap Rasul selalu diutus
ditengah-tengah kaumnya sendiri dengan bahasa yang mereka mengerti dengan
sempurna sehingga tidak akan terjadi kesalah-pahaman.
Adapun dalil ini disebutkan Syeikh
Bajuri :
اَنَّهُ
لَوِانْتَفَتْ عَنْهُمُ الْفَطَانَةُ لَمَاقَدَرُوْااَنْ يُقِـيْمُواالحُجَّةَ
عَلَى الخـَصْمِ وَهُوَمحـَالٌ لأَنَّ الْقُرْانَ دَ لَّ في مَوَاضِعَ كَثِـيرَ ةٍ
عَلَى اِقَامَتِهِمُ الحُجَّةَ عَلَى الخـَصْمِ
Artinya :
“Seandainya
Rasul itu tidak fathonah maka mereka tidak akan mampu menegakkan hujah atau
alasan untuk mengalahkan musuhnya. Rasul yang tidak mampu mene-gakkan hujah itu
mustahil karena telah dijelaskan dalam Al-Qur'an tentang kemampuan mereka
menegakkan hujah terhadap musuhnya”.
Apabila dikatakan kalau mereka
fathonah mengapa masih banyak umat dahulu yang ditimpakan Azab oleh Allah
Ta'ala yang menun-jukkan mereka tetap mendustakan para Rasul ? Katakan olehmu
yang demikian itu karena kedegilan hati mereka yang suka mengikuti hawa
nafsunya padahal sudah nyata bukti kebenaran para Rasul, bukan karena metode
mereka yang tidak cocok. Hal ini dapat dimisalkan dengan diri kita sendiri yang
terkadang sulit menerima kebenaran yang datang dari orang lain karena tidak
sesuai dengan apa yang kita yakini walaupun bukti-bukti kebenarannya sudah kita
pahami. Firman Allah ta’ala :
وَجَحَدُواْ
بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ
كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya :
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman
dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.(An-Naml
27:14)
Adapun yang
harus pada sekalian rasul adalah satu perkara yaitu اَلأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَةٌ
artinya sifat tubuh manusia yang tidak mengurangi martabatnya yang mulia
seperti sakit, makan, minum, tidur dan jaga. Para
Rasul adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah pada manusia maka mereka
juga dibangkitkan dari kalangan manusia supaya dapat diteladani oleh manusia.
Sebagai manusia maka mereka juga mengalami apa yang dialami manusia biasa
dimana mereka juga bisa sakit sepanjang sakit itu tidak menurunkan derajat
kenabian mereka. Bahkan sakit mereka menjadi ibadah yang menaikkan derajat
mereka karena mereka menjadi contoh umatnya supaya bersabar sebagaimana
diceritakan bahwa Nabi SAW pernah sakit demam panas. Nabi SAW juga makan dan
minum yang mana keduanya menjadi contoh bagi umatnya bagaimana makan sesuai
dengan yang diperintahkan Allah Ta'ala. Mereka juga beristri dimana
rumah-tangga mereka menjadi tauladan umatnya. Mereka juga tidur yang mana tidur
mereka menjadi tauladan umatnya.
Mustahil pada mereka a’radh basyariah yang menjadi kelemahan yang dapat menurunkan derajat kenabian ataupun menghalangi sampainya risalah seperti sakit gila, buta, lepra, lupa dan lain-lain. Demikianlah setiap apa yang didengar tentang para Rasul dimana hal itu dapat menurunkan derajat mereka maka harus kita takwil bahwa dibalik itu semua ada hikmah yang sangat besar.
Adapun khabar tentang butanya Nabi
Syuaib AS maka dikatakan bahwa hal itu terjadi setelah tugasnya selesai
sehingga tidak menghalanginya dari berdakwah yang diperintahkan. Demikian pula
khabar tentang sakitnya Nabi Ayyub AS maka perkara itu dibesar-besarkan oleh
ahli tarikh (sejarah) sehingga dikatakan bahwa tubuhnya berulat. Dalam perkara
ini kita harus membaikkan adab bahwa penyakitnya itu hanya penyakit kulit yang
diturunkan Allah Ta'ala untuk menguji kesabarannya setelah selesai masa
kerasulannya karena dialaminya dimasa tuanya. Demikian juga seperti Nabi Adam
AS yang memakan buah khuldi sementara Allah Ta'ala telah melarangnya maka hal
itu dikarenakan dari semula Allah Ta'ala memang akan menjadikan manusia sebagai
penghuni bumi. Jadi kejadian itu hanya rencana Tuhan yang tidak dapat
dihindarkan oleh Adam AS, seba-gaimana firman Allah :
وَإِذْقَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ في الأَرْضِ خَلِيْفَةً
Artinya :
“Ingatlah
ketika Allah berfirman pada Malaikat : “Bahwasanya Aku akan menjadikan khalifah
dibumi”.
Demikian pula sebagaimana tersebut
pada Atsar dari Khalid al-Hadzdzaa :
قُلْتُ لِلْحَسَنِ
: يَاأَبَاسَعِيْدٍ أَخْبرْنِى عَنْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَلِلسَّمَاءِ
خُلِقَ أَمْ لِلأَرْضِ؟ قَالَ : بَلْ لِلأَرْضِ ،قُلْتُ : أَرَأَيْتَ
لَوِاعْتَصَمَ فَلَمْ يَأْكُلْ مِنَ الشَّجَرَةِ ؟ قَالَ : لَمْ يَكُنْ لَهُ
مِنْهُ بُدٌّ (
رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ )
Artinya :
“Aku
pernah berkata kepada al-Hasan (al-Bashri), “Hai Abu Sa'id ceritakan kepadaku
tentang Nabi Adam AS, apakah dicip-takan untuk dilangit atau dibumi?” Al-Hasan
menjawab, “Tidak, bahkan untuk ditempatkan dibumi”. Aku berkata, “Ceritakanlah
padaku bagaimana seandainya ia dapat menahan dirinya dan tidak memakan buah
pohon terlarang itu?” Al-Hasan menjawab, “Ia tidak dapat mengelakkan hal itu”.
(Riwayat Abu Daud).
Dalam Tafsir Showi disebutkan :
وَالحْـَقُّ اَنْ
يُقَالَ اَنَّ ذلِكَ مِنْ سِرِّ الْقَدَرِ فَهِىَ مَنْهِىٌّ عَنْهُ ظَاهِرًا لاَ
بَاطِنًا فَإِنَّهُ بالْبَاطِنِ مَأْمُوْرٌ بالأَوْلى مِنْ قِصَّةِ الْخَضِرِ مَعَ
مُوْسَى وَاِخْوَةِ يُوْسُفَ مَعَهُ عَلَى اَنَّهُمْ اَنْبيَاءُ فَإِنَّ الله
حِينَ قَالَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ في الأَرْضِ خَلِيْفَةً كَانَ قَبْلَ
خَلْقِهِ وَهَذَا الأَمْرُمُبْرَمٌ يَسْتَحِيْلُ تخَـَلُّفُهُ فَلَمَّا خَلَقَهُ
وَاَسْكَنَهُ الْجَنَّةَ اَعْلَمَهُ بالنَّهْىِ عَنِ الشَّجَرَةِ صُوْرَةً فَهَذَا
النَّهْىُ صُوْرِىَّ وَاَكْلُهُ مِنَ الشَّجَرَةِ جَبَرِىٌّ لِعِلْمِهِ اَنَّ
الْمَصْلَحَةَ مُتَرَتِّبَةٌ عَلَى اَكْلِهِ , وَاِنَّمَا ُسمِّـىََ
مَعْصِيَةً نَظَرًا لِلنَّهْىِ الظَّاهِرِىِّ فَمِنْ حَيْثُ الْحَقِيْقَةُ لَمْ
يَقَعْ مِنْهُ عِصْيَانٌ وَمِنْ حَيْثُ الشَّرِيْعَةُ وَقَعَتْ مِنْهُ
الْمُخَالَفَةُ وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ الْعَرَبىِّ لَوْكُنْتُ مَكَانَ آدَمَ
لاَكَلْتُ الشَّجَرَةَ بتَمَامِهَا لمِـَا تَرَتَّبَ عَلَى اَكْلِهِ مِنَ الْخَيرِ
الْعَظِيْمِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ ذَلِكَ اِلاَّ وُجُوْدُ سَيِّدِنَا محمد J لَكَفَى
Artinya :
“Dan
yang benar, bahwa dikatakan sesungguhnya yang demikian itu adalah Sirrul Qadar
(rahasia takdir), maka dia dilarang darinya pada zhohir tetapi tidak pada
batinnya. Hal ini karena Nabi Adam as. pada batinnya diperintah terlebih
utama dari kisah Nabi Khidir serta Nabi Musa dan saudara-saudara Yusuf
besertanya bahwa adalah mereka itu adalah Nabi-nabi. Maka sesungguhnya Allah
swt. ketika berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menjadikan
di bumi seorang khalifah” adalah sebelum menjadikan Adam. Perkara ini merupakan
perkara yang sudah dipastikan yang mustahil salahnya. Maka ketika dijadikan-Nya
dan diberi tempat kediaman di syurga, diberitahukannya dengan larangan makan
buah pada rupanya (zhohir). Maka larangan ini adalah larangan shury dan memakan
buah adalah jabary dengan mengetahui bahwasanya kemaslahatan terletak dalam
memakannya. Dikatakan bahwa hal itu maksiyat memandang pada zhohir larangan.
Dari sisi hakikat tidaklah hal itu disebut sebagai dosa dan dipandang dari segi
syariat terjadi suatu pelanggaran. Sebagian dari makna itulah yang disebutkan
Ibnul Aroby, “Jika aku berada ditempat Adam niscaya aku makan buah itu dengan
sempurna karena didalam memakannya itu terdapat kebaikan yang sangat banyak dan
jika tidak ada kebaikannya dari hal itu kecuali wujudnya Sayyidina Muhammad SAW
itupun cukuplah”.
Bersambung ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar