Senin, 02 April 2012

AQIDAH MUKMIN (3) SIFAT - SIFAT RASUL

Sifat-Sifat Rasul



Firman Allah ta’ala :

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوْحِى إِلَيْهِمْ
Artinya :
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka”.(Al-Anbiya’ 21:7)
Karena itulah dikatakan rasul adalah :

رَجُلٌ اُوْحِيَ اِلَيْهِ بشَرْعٍ وَاُمِرَ بتَبْلِيْغِهِ لِلْخَلْقِ

 Artinya :
"Laki-laki yang diberi wahyu dengan hukum syara' dan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu itu pada makhluk".

Bila tidak diperintahkan untuk menyampaikan pada makhluk maka disebut Nabi. Jadi setiap Rasul adalah Nabi tetapi tidak setiap Nabi diangkat sebagai Rasul.

Adapun yang wajib pada sekalian Rasul alaihimush sholatu wasalam yang mana setiap mukallaf wajib dalam hukum syara' mengetahuinya dengan sekalian dalilnya yaitu empat sifat dan yang mustahilpun empat juga yang merupakan lawan dari sifat yang wajib dan satu sifat yang harus. Adapun empat sifat yang wajib yaitu :

1).   Shiddiq ( صِدْقٌ ) artinya benar mustahil kadzib artinya dusta.

Arti shiddiq atau benar adalah :

مُطَابَقَةُ خَبرِهِمْ لِلْوَاقِعِ وَلَوْبحَسْبِ اِعْتِقَادِهِمْ

 Artinya :
"Berita yang dibawa para Rasul sesuai dengan kenyataan walau dari segi i'tiqad saja".

Jadi semua perkataan para Rasul benar dan tidak ada yang dusta. Adapun dalil atas benarnya mereka adalah :

لَوْ كَذَبُوْا لَكَانَ خَبرُ اللّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى كَاذِبًا وَهُوَ محـَالٌ

Artinya : 
"Seandainya mereka berdusta maka khabar dari Allah SWT dusta pula dan itu mustahil".

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan pada mereka mukjizat yang mana hal itu sebagai bukti kebenaran dari setiap apa yang mereka sampaikan. Mukjizat itu dapat diserupakan atau disama-kan dengan pernyataan dari Allah dimana seakan-akan Allah SWT berfirman :

صَدَقَ عَبْدِى في كُلِّ مَا يُبَلِّغُ عَنِّي

Artinya : 
"Benar hamba-Ku bahwa setiap apa yang disampaikan-nya itu dari-Ku". 

2). Amanah ( أَمَانَةٌ ) artinya terpercaya mustahil khianat.
Amanah maksudnya terpelihara lahir dan batin dari perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala walaupun perkara yang makruh ataupun khilaful aula (menyalahi yang utama) yang didorong oleh hawa nafsunya. Dengan kata lain seluruh Rasul adalah makshum (dijaga Allah Ta'ala) dari perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala.
 Adapun apa yang terlihat dari perbuatan Rasul yang nampaknya menyalahi perintah seperti Nabi Adam AS yang memakan buah yang dilarang Allah Ta'ala atau Nabi Muhammad SAW berwudhu' sekali-sekali padahal yang utamanya tiga kali-tiga kali atau pernah Nabi SAW minum sambil berdiri atau sembahyang dengan lupa rakaat, maka semua itu bukan didorong oleh hawa nafsunya bahkan bagi mereka itu merupakan ibadah.
Sabda Nabi SAW :
اِنِّيْ لاَاَنْسِىْ وَلَكِنْ اُنْسَى

Artinya : “Sesungguhnya aku tidak lupa tetapi dilupakan”.
Hal itu semua adalah untuk menzhohirkan hukum Syara', bukan sebagai pengingkaran atau karena ingin menyalahi yang utama. Adapun dalil sifat amanah pada para Rasul adalah :
اَنَّهُمْ لَوْخَانُوْابفِعْلِ محـَرَّمٍ اَوْمَكْرُوْهٍ لَكُـنَّا مَأْ مُوْرِيْنَ بمِثْلِ ذلِكَ وَلاَيَصِحُّ اَنْ نُؤْمَرَ بمـُحَرَّمٍ اَوْمَكْرُوْهٍ

Artinya : 
“Seandainya mereka khianat dengan mengerjakan perkara yang haram atau yang makruh tentu kitapun diperintahkan untuk mengerjakan seperti itu sedangkan kita tidak diperintahkan mengerjakan perkara yang haram dan yang makruh”.

3). Tabligh ( تَبْلِيْغٌ ) artinya menyampaikan mustahil kitman artinya menyembunyikan.

Tabligh dimaksud yaitu menyampaikan apa yang diperintahkan Allah Ta'ala dari wahyu yang telah diturunkan pada mereka walau-pun apa yang mereka sampaikan itu berlawanan dengan yang diinginkan oleh orang-orang kafir. Kemudian apa yang disuruh mereka sampaikan maka itupun merupakan kewajiban kita seba-gai umatnya untuk menyampaikannya pula. Dalam kaidah ushul disebutkan :
مَا اُمِرَ لِنَبـيّه اُمِرَ لاُمَّتِه

Artinya : 
“Setiap perkara yang diperintahkan pada Nabinya, diperintahkan pula pada umatnya".
Adapun dalil sifat ini bagi mereka adalah :
اَنَّهُمْ لَوْكَتَمُوْا شَيْئًا ِممـَّا اُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لَكُـنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِكِتْمَانِ الْعِلْمِ وَلاَيَصِحُّ اَنْ نُؤْمَرَبه لاَنَّ كَاتمَ الْعِلْمِ مَلْعُوْنٌ

Artinya : 
“Bahwasanya jika mereka menyembunyikan perkara yang diperintahkan pada mereka untuk menyampaikannya maka diperintahkan pula pada kita untuk menyem-bunyikan ilmu sedangkan perkara itu tidak sah tidak seperti itu karena bahwasanya orang yang menyembunyikan ilmu itu dilaknat”.
Firman Allah Ta'ala Tentang Bani Isro'il :
إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ في الْكِتَابِ اُولئِكَ يَلْعَنُهُمُ الله وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُوْنَ

Artinya : 
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati”. 

4).  Fathonah ( فَطَانَةٌ ) artinya sempurna pemahaman (cerdik/cerdas) mustahil baladah artinya dungu.
Seorang Rasul diutus pada suatu kaum yang mana dia harus menyampaikan apa yang diperintahkan padanya. Untuk menyampaikan risalah itu dibutuhkan kecerdasan karena jika tidak akan sangat mudah dibantah apa yang mereka sampaikan. Sesuatu yang baik tetapi karena metode penyampaian yang salah dapat berakibat apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jadi untuk menyampaikan risalah dibutuhkan Rasul yang mempunyai pemahaman yang sempurna. Karena itulah setiap Rasul selalu diutus ditengah-tengah kaumnya sendiri dengan bahasa yang mereka mengerti dengan sempurna sehingga tidak akan terjadi kesalah-pahaman.
Adapun dalil ini disebutkan Syeikh Bajuri :
اَنَّهُ لَوِانْتَفَتْ عَنْهُمُ الْفَطَانَةُ لَمَاقَدَرُوْااَنْ يُقِـيْمُواالحُجَّةَ عَلَى الخـَصْمِ وَهُوَمحـَالٌ لأَنَّ الْقُرْانَ دَ لَّ في مَوَاضِعَ كَثِـيرَ ةٍ عَلَى اِقَامَتِهِمُ الحُجَّةَ عَلَى الخـَصْمِ

Artinya : 
“Seandainya Rasul itu tidak fathonah maka mereka tidak akan mampu menegakkan hujah atau alasan untuk mengalahkan musuhnya. Rasul yang tidak mampu mene-gakkan hujah itu mustahil karena telah dijelaskan dalam Al-Qur'an tentang kemampuan mereka menegakkan hujah terhadap musuhnya”.
Apabila dikatakan kalau mereka fathonah mengapa masih banyak umat dahulu yang ditimpakan Azab oleh Allah Ta'ala yang menun-jukkan mereka tetap mendustakan para Rasul ? Katakan olehmu yang demikian itu karena kedegilan hati mereka yang suka mengikuti hawa nafsunya padahal sudah nyata bukti kebenaran para Rasul, bukan karena metode mereka yang tidak cocok. Hal ini dapat dimisalkan dengan diri kita sendiri yang terkadang sulit menerima kebenaran yang datang dari orang lain karena tidak sesuai dengan apa yang kita yakini walaupun bukti-bukti kebenarannya sudah kita pahami. Firman Allah ta’ala :
وَجَحَدُواْ بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya : 
 “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.(An-Naml 27:14)
Adapun yang harus pada sekalian rasul adalah satu perkara yaitu اَلأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَةٌ artinya sifat tubuh manusia yang tidak mengurangi martabatnya yang mulia seperti sakit, makan, minum, tidur dan jaga. Para Rasul adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah pada manusia maka mereka juga dibangkitkan dari kalangan manusia supaya dapat diteladani oleh manusia. Sebagai manusia maka mereka juga mengalami apa yang dialami manusia biasa dimana mereka juga bisa sakit sepanjang sakit itu tidak menurunkan derajat kenabian mereka. Bahkan sakit mereka menjadi ibadah yang menaikkan derajat mereka karena mereka menjadi contoh umatnya supaya bersabar sebagaimana diceritakan bahwa Nabi SAW pernah sakit demam panas. Nabi SAW juga makan dan minum yang mana keduanya menjadi contoh bagi umatnya bagaimana makan sesuai dengan yang diperintahkan Allah Ta'ala. Mereka juga beristri dimana rumah-tangga mereka menjadi tauladan umatnya. Mereka juga tidur yang mana tidur mereka menjadi tauladan umatnya. 


Mustahil pada mereka a’radh basyariah yang menjadi kelemahan yang dapat menurunkan derajat kenabian ataupun menghalangi sampainya risalah seperti sakit gila, buta, lepra, lupa dan lain-lain. Demikianlah setiap apa yang didengar tentang para Rasul dimana hal itu dapat menurunkan derajat mereka maka harus kita takwil bahwa dibalik itu semua ada hikmah yang sangat besar.
Adapun khabar tentang butanya Nabi Syuaib AS maka dikatakan bahwa hal itu terjadi setelah tugasnya selesai sehingga tidak menghalanginya dari berdakwah yang diperintahkan. Demikian pula khabar tentang sakitnya Nabi Ayyub AS maka perkara itu dibesar-besarkan oleh ahli tarikh (sejarah) sehingga dikatakan bahwa tubuhnya berulat. Dalam perkara ini kita harus membaikkan adab bahwa penyakitnya itu hanya penyakit kulit yang diturunkan Allah Ta'ala untuk menguji kesabarannya setelah selesai masa kerasulannya karena dialaminya dimasa tuanya. Demikian juga seperti Nabi Adam AS yang memakan buah khuldi sementara Allah Ta'ala telah melarangnya maka hal itu dikarenakan dari semula Allah Ta'ala memang akan menjadikan manusia sebagai penghuni bumi. Jadi kejadian itu hanya rencana Tuhan yang tidak dapat dihindarkan oleh Adam AS, seba-gaimana firman Allah :
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ في الأَرْضِ خَلِيْفَةً

Artinya : 
“Ingatlah ketika Allah berfirman pada Malaikat : “Bahwasanya Aku akan menjadikan khalifah dibumi”.
Demikian pula sebagaimana tersebut pada Atsar dari Khalid al-Hadzdzaa :
قُلْتُ لِلْحَسَنِ : يَاأَبَاسَعِيْدٍ أَخْبرْنِى عَنْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَلِلسَّمَاءِ خُلِقَ أَمْ لِلأَرْضِ؟ قَالَ : بَلْ لِلأَرْضِ ،قُلْتُ : أَرَأَيْتَ لَوِاعْتَصَمَ فَلَمْ يَأْكُلْ مِنَ الشَّجَرَةِ ؟ قَالَ : لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْهُ بُدٌّ ( رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ )

Artinya : 
“Aku pernah berkata kepada al-Hasan (al-Bashri), “Hai Abu Sa'id ceritakan kepadaku tentang Nabi Adam AS, apakah dicip-takan untuk dilangit atau dibumi?” Al-Hasan menjawab, “Tidak, bahkan untuk ditempatkan dibumi”. Aku berkata, “Ceritakanlah padaku bagaimana seandainya ia dapat menahan dirinya dan tidak memakan buah pohon terlarang itu?” Al-Hasan menjawab, “Ia tidak dapat mengelakkan hal itu”. (Riwayat Abu Daud).
  
Dalam Tafsir Showi disebutkan :
وَالحْـَقُّ اَنْ يُقَالَ اَنَّ ذلِكَ مِنْ سِرِّ الْقَدَرِ فَهِىَ مَنْهِىٌّ عَنْهُ ظَاهِرًا لاَ بَاطِنًا فَإِنَّهُ بالْبَاطِنِ مَأْمُوْرٌ بالأَوْلى مِنْ قِصَّةِ الْخَضِرِ مَعَ مُوْسَى وَاِخْوَةِ يُوْسُفَ مَعَهُ عَلَى اَنَّهُمْ اَنْبيَاءُ فَإِنَّ الله حِينَ قَالَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ في الأَرْضِ خَلِيْفَةً كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ وَهَذَا الأَمْرُمُبْرَمٌ يَسْتَحِيْلُ تخَـَلُّفُهُ فَلَمَّا خَلَقَهُ وَاَسْكَنَهُ الْجَنَّةَ اَعْلَمَهُ بالنَّهْىِ عَنِ الشَّجَرَةِ صُوْرَةً فَهَذَا النَّهْىُ صُوْرِىَّ وَاَكْلُهُ مِنَ الشَّجَرَةِ جَبَرِىٌّ لِعِلْمِهِ اَنَّ الْمَصْلَحَةَ مُتَرَتِّبَةٌ عَلَى اَكْلِهِ , وَاِنَّمَا  ُسمِّـىََ مَعْصِيَةً نَظَرًا لِلنَّهْىِ الظَّاهِرِىِّ فَمِنْ حَيْثُ الْحَقِيْقَةُ لَمْ يَقَعْ مِنْهُ عِصْيَانٌ وَمِنْ حَيْثُ الشَّرِيْعَةُ وَقَعَتْ مِنْهُ الْمُخَالَفَةُ وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ الْعَرَبىِّ لَوْكُنْتُ مَكَانَ آدَمَ لاَكَلْتُ الشَّجَرَةَ بتَمَامِهَا لمِـَا تَرَتَّبَ عَلَى اَكْلِهِ مِنَ الْخَيرِ الْعَظِيْمِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ ذَلِكَ اِلاَّ وُجُوْدُ سَيِّدِنَا محمد J لَكَفَى

 Artinya :
“Dan yang benar, bahwa dikatakan sesungguhnya yang demikian itu adalah Sirrul Qadar (rahasia takdir), maka dia dilarang darinya pada zhohir tetapi tidak pada batinnya. Hal ini karena Nabi  Adam as. pada batinnya diperintah terlebih utama dari kisah Nabi Khidir serta Nabi Musa dan saudara-saudara Yusuf besertanya bahwa adalah mereka itu adalah Nabi-nabi. Maka sesungguhnya Allah swt. ketika berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang khalifah” adalah sebelum menjadikan Adam. Perkara ini merupakan perkara yang sudah dipastikan yang mustahil salahnya. Maka ketika dijadikan-Nya dan diberi tempat kediaman di syurga, diberitahukannya dengan larangan makan buah pada rupanya (zhohir). Maka larangan ini adalah larangan shury dan memakan buah adalah jabary dengan mengetahui bahwasanya kemaslahatan terletak dalam memakannya. Dikatakan bahwa hal itu maksiyat memandang pada zhohir larangan. Dari sisi hakikat tidaklah hal itu disebut sebagai dosa dan dipandang dari segi syariat terjadi suatu pelanggaran. Sebagian dari makna itulah yang disebutkan Ibnul Aroby, “Jika aku berada ditempat Adam niscaya aku makan buah itu dengan sempurna karena didalam memakannya itu terdapat kebaikan yang sangat banyak dan jika tidak ada kebaikannya dari hal itu kecuali wujudnya Sayyidina Muhammad SAW itupun cukuplah”. 


Bersambung ......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar