‘Tafsir’ Kebencian
Jika ditelusuri, equality dalam
feminisme memang bukanlah doktrin yang mengusung keadilan yang
sesungguhnya, tetapi sejak semula berdasarkan ideologi kebencian.
Asal-usulnya dari Barat, bukan dari tradisi Islam. Dipicu oleh
pandangan buruk (misogynic) orang Barat terhadap wanita. Buku John Mary Ellmann, Thingking About Women,
yang terbit pada tahun 1968 di New York mengungkap pelecehan-pelecehan
orang Barat sejak zaman dahulu terhadap wanita. Gereja menuding
perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan malapetaka (Syamsuddin Arif:Menyikapi Feminisme dan Isu Gender).
Korban inkuisisi (lembaga yang mengeksekusi para pembangkang Gereja)
ternyata banyak dari kalangan wanita. Sejak lama, Barat membenci wanita.
Kebencian
ini lantas direspon secara ekstrim. Mary Wollstonecraft pada abad ke-17
disebut-sebut wanita Barat yang paling getol melawan misoginisme itu.
Mary kemudian diikuti oleh yang lain seperti Helene Brion (Prancis),
Clara Zetkin (Jerman), Anna Kuliscioff (Italia) dan lain-lain. Semua
memiliki frame pemikiran sama; wanita harus bebas dari
laki-laki, sebebas-bebasnya. Misalnya, kepuasan biologis tidak harus
dari laki-laki tapi dari sesama perempuan (lesbianisme), mencemooh
institusi pernikahan, dan tidak mau menyusui. Bahkan mantan capres AS,
Pet Robertson, memprovokasi wanita agar meninggalkan suami, membunuh
anak-anaknya, dan menjadi lesbian. Wanita Barat, yang sekian abad
dilecehkan, mendapatkan angin baru.
Hanya,
‘angin baru’ yang mereka dapatkan bukanlah pencerahan tapi respon yang
traumatik. Buktinya, yang terjadi dalam masyarakat Barat adalah semacam
ideologi balas dendam terhadap lelaki yang telah lama membenci wanita.
Lelaki adalah biang penistaan itu. Segala hal yang berbau kelaki-lakian
dibenci. Ini artinya, paham feminisme atau kesetaraan gender dipicu
oleh respon traumatik terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya
orang Barat terhadap wanita.
Jadi worldview feminisme adalah equality
sedangkan ideologinya adalah benci kelaki-lakian. Di kalangan aktifis
feminis Indonesia, lahir pemahaman ‘tafsir’ gender. Ayat poligami,
konsep iddah,dan konsep waris didekonstruksi. Iddah
memihak laki-laki, waris Islam merendahkan perempuan dan poligami
merupakan bentuk kekerasan laki-laki pada perempuan. Ayat al-Qur’an
dibongkar atas dasar rasa curiga berlebihan terhadap lelaki. Feminis
Indonesia, Siti Musdah Muliah dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam,terpengaruh
ideologi kebencian itu. Ia Mengusulkan perlunya penafsiran ulang
ayat-ayat al-Qur’an karena penafsiran yang ada dituding sebagai
konspirasi ulama’ – yang berjenis kelamin laki-laki – untuk menempatkan
wanita sebagai pihak subordinat.
Ideologi
kecurigaan tersebut akhirnya melewati batas-batas kodrat dan fitrah
kemanusiaan. Lesbian dan homoseks dihalalkan asalkan dilakukan tanpa
merusak kemanusiaan (Musdah Mulia: Islam Agama Rahmat Bagi Alam Semesta).
Kepuasaan biologis kenapa harus dengan lelaki, jika dengan sesama
perempuan bisa diperoleh? Apalagi lelaki itu cenderung merendahkan
wanita. Begitu kira-kira logika kaum feminis, yang justru merusak
kodrat manusia itu sendiri.
Frame pemikiran tersebut hanyalah adopsi pengalaman masyarakat Barat. Dalam tradisi Islam tidak dijumpai misogynic, budaya patrriarkhi
dan lain-lain. Jadi, feminisme adalah paham yang dihasilkan dari
pengalaman lokal, tapi dipasarkan secara global. Pengalaman manusia
Barat belum tentu sama dengan pengalaman masyarakat yang bertradisi
Islam. Akibatnya, banyak timbul ketimpangan-ketimpangan. Masyarakat
muslim yang telah lama memuliakan wanita, menempatkan pria dan wanita
secara proporsional sesuai kodrat, tiba-tiba dipaksa ikut-ikutan
mencurigai pria.
Problem Keadilan
Kesetaraan
yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya,
kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam
RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah
ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial. Mungkinkah olah raga sepak
bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita bebas
membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat tidak
dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja
dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa
dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis
memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal
keadilan itu tidak harus sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama
tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi,
kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka
hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Laki-laki
menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu
pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar
pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita
di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini
sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu,
semua kalangan mengakui, jika di-‘publish’ akan menarik perhatian pria.
Begitu
pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Kedudukan dan derajat suami
sebagai pemimpin rumah tangga tidak dapat dinilai bahwa suami lebih
tinggi derajatnya dibanding istri. Ini juga hanya pembagian tugas.
Masing-masing memiliki tugas. Persoalan yang terjadi dalam pikiran kaum
feminis adalah cara pandang. Mereka mengira, derajat dan kedudukan itu
semata-mata diukur secara material dan empirik. Mereka menganggap
jabatan pemimpin itu tanda kemuliaan. Seperti halnya mengira harta yang
banyak itu membahagiakan, padahal belum tentu. Dalam Islam, jabatan
kepempimpinan dan harta itu amanah, tugas dan perintah yang harus
dijalankan dengan baik.
Dalam
Islam, meski istri itu pihak yang dipimpin, bukan berarti ia rendah.
Justru ia begitu dimuliakan. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Syarh ‘Uqudul Lujjanin,
mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ternyata tugas
memasak, mencuci pakaian itu tugas suami, bukan istri. Bahkan istri
yang menyusui anaknya harus diberi ganti ongkos oleh suami. Ini
semata-mata untuk memuliakan kedudukan wanita.
Jadi,
kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam
konsep Islam telah jelas diterangkan. Apalagi sampai merombak syari’ah
dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akant
tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan
Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata ikhlas mencarikan wanita
keadilan dan kemulyaan.
SUBHANALLAH SY SANGAT APRESIASI DG TULISAN SAUDARA UNTUK MELURUSKAN PEMAHAMAN GENDER YANG MENGUTAK-ATIK AL-QUR'AN DAN MENAFSIRKAN AL-QUR'AN SEMAUNYA KARENA MEREKA TIDAK MAMPU MERUBAH-RUBAH AYAT MAKA MEREKA BERUSAHA MENGACAUKAN PENAFSIRAN AYAT
BalasHapus